E-commerce adalah salah satu yang disebut-sebut sebagai next big
thing dalam digital marketing di Indonesia. Namun hingga saat ini
sepertinya belum banyak website e-commerce yang berhasil, beberapa malah
jatuh berguguran, walaupun mereka datang dengan modal yang sangat
besar.
Hal ini sebenarnya disebabkan jumlah pembelanja online di Indonesia
belum terlalu banyak, masih diperlukan waktu yang cukup panjang untuk
mencapai critical mass.
Data yang menarik juga terungkap dari hasil riset majalah Marketeerss
edisi Juli 2012. Berdasarkan survei yang dilakukan, untuk kategori baju,
40.6% mengaku melakukan riset di online terlebih dahulu sebelum
membeli, dan yang akhirnya belanja via online sekitar 24.8%.
Kategori produk-produk elektronik (misal tv dll), yang melakukan riset
via online cukup besar juga 36.8%, namun yang terkonversi belanja di
online cuma 5.3%. Kategori Hadphone 32.5% riset di online, pembelian
6.5%. Komputer/laptop dan aksesorisnya 24.3% riset di online, konversi
pembelian 7.7%.
Untuk kategori fashion accessories (tas, dompet, sepatu, jam tangan),
riset di online 13% , konversi pembelian 8%. Kategori kendaraan
bermotor, yang riset di online 10.6%, dan yang membeli 2.4%. Lalu
kategori buku yang riset di online 8.7%, yang membeli di online 2.9%.
Kategori tiket perjalanan dan konser, yang riset di online 7.2%, dan
yang melalukan pembelian via online 4.3%. Lalu terakhir kategori
produk-produk rumah tangga (misalnya peralatan masak, perlengkapan
dapur), yang melakukan riset via online 5.8%, yang akhirnya membeli
1.9%.
Riset Markplus dilakukan kepada 500 responden di 13 kota, dengan rentang
umur 20-60 tahun disegmen kelas Menengah Indonesia, yang saat ini
sedang seksi dibidik oleh pemasar. Dari riset ini, bisa ditarik
kesimpulan kasar bahwa pasar paling potensial pembeli online ada dua
Perempuan dan Generasi Y. Lihatlah persentase konversi dari yang riset
hingga akhirnya beli untuk produk baju, fashion accessories, buku, dan
tiket. Kesimpulan lain, saat ini online hanya dipergunakan untuk riset
tapi konversi pembelian masih sangat rendah.
Pasar produk perempuan sangat besar tapi sebenarnya juga belum
sepenuhnya e-commerce karena sebagian besar mereka membeli via Facebook
dimana yang jualan teman-temannya, dan sistem pembayaran dengan Cash On
Delivery (COD) atau transfer.
Untuk pasar Generasi Y ini yang sepertinya menarik, terutama terlihat
dari pembelian tiket konser dan perjalanan, saya hampir yakin responden
yang menjawab adalah rentang umur 20-30 tahun. Generasi digital native,
yang sangat canggih berinternet dan menyukai hal-hal yang lebih praktis.
Tapi di sisi lain kenapa kok penjualan gadget koversinya rendah?
Bukankah Generasi Y juga masuk ke segmen ini? Tapi mereka kok kebanyakan
cuma riset, tapi tidak belanja via online? Inilah beberapa tantangan
e-commerce Indonesia.
Perilaku & Budaya
Belanja bagi orang Indonesia itu bukan hanya sekedar mencari barang yang
dibutuhkan, ada aspek-aspek sosial di dalamnya. Misalnya belanja itu
bagi sebagian orang adalah hiburan dan rekreasi. Pergi ke mall, atau ke
Carrefour selain beli sesuatu, untuk menghibur.
Kedua belanja itu harus diliat orang lain, kebanggaan kita dalam
berbelanja bukan cuma karena puas dengan produknya, tapi kepuasan
menenteng tas belanjaan keliling mall dilihat orang. Apalagi kalau yang
dibeli produk yang bermerk dan bergengsi. Nah pengalaman ini tidak bisa
didapatkan via belanja online.
Ketiga, ketika membeli produk kita lebih suka mencoba dulu, meraba, dan
merasakan sebelum membeli. Pengalaman ini mustahil untuk didapatkan di
online. Itu sebabnya penjualan produk semacam buku dan tiket bisa jalan
di online, karena buku dan tiket ya bentuknya sama saja, gak perlu
diraba dan dirasakan.
Lalu bagaimana dengan baju dan aksesoris? Bukankah harus dicoba ? Betul
sekali, tapi perempuan itu impulsif mudah tergoda beli baju dll,
jangankan online, offline pun begitu. Di sisi lain saya menduga yang
dibeli adalah baju yang tidak mahal, bukan branded. Justru yang begini
kan mereka nggak mau diketahui orang kalau beli produk murahan, yang
penting pas dipake keliatan keren.
Infrastruktur
Ketika berbicara tentang e-commerce tidak bisa lepas dari infrastruktur.
Pertama adalah koneksi internet, sebagian besar koneksi internetnya
dari kantor atau mobile. Ini sepertinya tidak terlalu mendukung untuk
e-commerce karena di mobile layarnya sangat terbatas.
Hal lain yang juga berpengaruh adalah sistem pembayaran, pengguna kartu
kredit di Indonesia masih sangat terbatas. Di sisi lain sistem
pembayaran semacam Paypal belum ada yang menjadi standar untuk
memudahkan transaksi. Ini juga sangat berpengaruh pada konversi
pembelian.
Keamanan
Masyarakat masih belum terlalu percaya dengan keamanan transaksi online
di Indonesia. Mereka masih takut datanya akan dicuri. Trauma beberapa
tahun lalu, dimana Carding sangat marak di Indonesia, membuat sebagian
orang masih enggan untuk bertransaksi online.
Lalu dari berbagai tantangan diatas apa yang kemudian bisa dilakukan
untuk memperluas pasar, dan juga megoptimalkan e-commerce di Indonesia,
agar perusahaan-perusahaan e-commerce di Indonesia akan tetap bisa
tumbuh dan bertahan hingga e-commerce mencapai critical mass yang
mungkin baru akan terjadi beberapa tahun ke depan.
Insentif
E-commerce harus memberikan insentif yang kuat agar konsumen mau
mengubah perilakunya. Karena bagaimana pun mereka tidak akan mau
berubah, kalau tidak ada sesuatu keuntungan buat mereka. Air Asia sukses
membuat orang mau belajar beli tiket via online karena harganya jauh
lebih murah. Toko buku online juga sama, orang akhirnya mau coba beli
via online karena harganya lebih murah, dibandingkan di toko buku.
Insentif bukan hanya soal harga, tapi kelangkaan. Misalnya para
perempuan histeris beli baju di FB, karena mereka pengen beli baju-baju
ala Korea yang tidak ada di department store. Mereka dipaksa belanja
online, karena di channel lain yang mereka tahu tidak ada produk serupa.
Edukasi
Ini yang sering terlupakan untuk melakukan edukasi ke konsumen, misalnya
edukasi bahwa websitenya dijamin aman dan datanya tidak akan bocor.
Atau mungkin edukasi yang paling dasar mengapa mereka harus belanja
online, karena akan menghemat waktu, bisa kapan saja, terhindar stres
kemacetan dll.
Edukasi lain harus dikaitkan dengan aspek budaya. Orang Indonesia yang
gemeinschaft, sederhananya sangat terpengaruh opini lingkungan
sekitarnya, bisa dimanfaatkan! Kita bisa membangun persepsi, yang
belanja mesti ke toko itu katrok, kaum hipster itu belanjanya via
online. Eksekusi paling mudahnya, ketika dia belanja pertama kali akan
dapat badge sbg hipster yang bisa di sharing ke social medianya?
Social Commerce
Social commerce itu sederhananya memanfaatkan teknologi social media
untuk mendukung penjualan terutama e-commerce. Selama ini kan e-commerce
selalu “kering”, kurang humanis. Websitenya yang dipikirin user
experience, produk yang lengkap, harga yang murah dll.
Padahal aspek sosial dan budaya sangat kental dalam proses pembelian,
apalagi konsumen Indonesia seperti yang dibahas di atas. Oleh karena itu
dengan adanya social media, seharusnya pengalaman pembelian di offline
bisa dibawa ke online.
Misalnya setiap mereka membeli produk secara online, mereka bisa pamer
ke teman-temannya via social media yang mereka miliki. Atau mereka juga
bisa berdiskusi dan minta saran dari teman-temannya ketika memilih
antara baju warna merah atau hijau yang cocok buat dia.
Fitur lain lagi yang terpikirkan oleh saya misalnya, mereka bisa berbagi
wish list produk yang mereka pengen beli, atau merekomendasikan sebuah
produk kepada tema-temannya. Ingatlah pembelian produk punya banyak
aspek SOSIAL. Untuk mempelajari lebih mendalam tentang social commerce,
bisa mampir ke blog SocialCommerceToday.com .
Targeted Advertising
Menurut hemat saya budget promosi terbesar untuk sebuah website
e-commerce itu seharusnya masuk ke sini, karena apa? Karena konversinya
akan lebih tinggi ke sales. Iklan-iklan dalam bentuk banner, apalagi
iklan di TVC, Radio dll akan kurang efektif mendorong pembelian.
Targeted Ad akan menyasar yang memang saat itu memang butuh produknya,
tinggal bagaimana menggoyang mereka membeli produk di tempat kita. Nah
targeted ad juga perlu dianalisa lagi lebih jauh, kalau jeli melihat
peluang setelah terjadinya otonomi daerah. Beberapa kota di Indonesia
melahirkan banyak Orang kaya Baru (OKB).
OKB biasanya berkarakter konsumtif, pengen niru gaya orang Jakarta, haus
pengakuan sebagai orang yang modern. Celakanya produk-produk yang
mereka butuhkan ini tidak ada di daerahnya, ini kesempatan emas buat
e-commerce website untuk merayu mereka. Karena mereka tidak punya
pilihan lain selain belanja ke Jakarta atau luar negeri, yang tidak
mungkin dilakukan setiap saat, dan biayanya lebih tinggi.
Iklan-iklan e-commerce Anda bisa dikonsentrasikan mentarget mereka
kemungkinan akan lebih efektif, dibandingkan menyasar orang-orang
Jakarta yang mungkin penetrasi pengguna internetnya lebih besar tapi
sekedar liat-liat tapi nggak belanja, karena mereka bisa membeli ke toko
sekalian rekreasi.
Ini sekedar pendapat dari pandangan sekilas. Kalau ada yang praktisi e-commerce mungkin bisa menambahkan atau menyanggah?
jika ada informasi yang menarik atau bermanfaat walaupun sederhana...di post ya....
BalasHapus